07 April, 2009

eksitensi komunitas underground

Satu hal yang perlu dicermati mengenai eksistensi komunitas underground Bandung yaitu semangat militansi untuk terus mencari ruang ekspresi. Pergeseran budaya militansi yang sempat hilang dalam komunitas underground dan tergantikan dengan banyaknya sistem nilai ekonomi membuktikan bahwa semangat yang telah hilang ini bisa menjadi solusi pemecahan untuk eksistensi komunitas underground itu sendiri. Karena bagaimanapun komunitas ini awalnya hidup dari semangat militansi untuk membuat potensi berkreativitas tetap hidup, meski seringkali terhambat oleh halangan birokrasi yang ada.

Pasca tragedi AACC, eksistensi komunitas underground seperti hilang ditelan bumi dengan minimnya konser berlangsung akibat sulitnya memperoleh izin dan kurangnya venue representatif. Kini semangat untuk tetap militan yang membuat eksistensi komunitas ini terus hidup bernafas.

Konser yang dibikin ilegal, menjadi salah satu jiwa militansi komunitas underground tetap hidup berekspresi saat ini. Tentu saja ilegal dalam konteks ini berarti tanpa perlunya perizinan birokrasi dan segala tetek bengek administrasi. “Dari awalnya juga komunitas underground ini kan bermodalkan semangat militan. Apalagi ketika adanya tindakan represif dari pihak pemerintah dan birokrat, semangat militansi itu semakin muncul. Jika konser musik underground dilarang, kenapa kita tidak bikin konser secara ilegal saja. Jadinya semangat militansi itu yang muncul. Sederhananya yang penting konser jadi dan komunitas tetap berkarya, “ ujar Addy Gembel, vokalis band metal Forgotten yang seringkali terlibat dalam beberapa konser ilegal.

Menurut Giezma, fenomena konser ilegal memang seringkali dibikin oleh komunitas underground bahkan jauh sebelum Tragedi AACC terjadi. Biasanya fenomena ini muncul ketika adanya keribetan dalam paparan birokrasi. “Yang penting konser jadi. Dibikin secara sederhana pun sudah oke, karena tujuan sebenarnya menjadikan konser itu sebagai media komunikasi antar komunitas. Tidak berpikir sebagai sistem ekonomi yang mesti ada profitnya.

Sebut saja Kampus UPI, UNPAR, ITENAS, Studio Gramma, Studio Jawara, Villa Putih Lembang, Student’s Cafe Taman Sari yang senantiasa menjadi venue alternatif untuk menyelenggarakan konser ilegal. Bagi komunitas underground ini tempat kecil dan pengap juga tidak masalah. Perihal sound system seadanya juga bukan hal yang patut dipikirkan. Bahkan dibikin secara patungan untuk bayar sewa tempat dan sound pun menjadi hal yang lumrah. Karena bagi mereka rasa persatuan komunitas yang lebih diutamakan. “Yang penting komunitas eksis aja dulu,” ujar Themfuck, vokalis band punk Jeruji yang seringkali tampil di Villa Putih Lembang. Venue tersebut menjadi salah satu langganan komunitas punk untuk menggelar konser. Bahkan tempat Villa Putih seringkali menjadi pilihan ketika ada band punk internasional yang mau manggung di Bandung yang dibikin tentu saja dalam skala terbatas.

Komunitas metal pun tak jauh beda. Apalagi komunitas metal ini tengah banyak disorot membuat eksistensi komunitas ini seolah sulit bergerak untuk menemukan ruangnya. “Pasca Tragedi AACC, ketika komunitas metal sulit mendapatkan panggung, kita pernah bikin konser ilegal di basemen Kampus Itenas dan kerjasama dengan mahasiswa setempat,” ujar Addy Gembel.

“Kita pernah bikin acara konser metal di Rancaekek. Dan rencananya kita bakal bikin konser ilegal secara rutin di tempat tersebut,” ujar Amenk, vokalis band metal Disinfected yang sering menginisiasi konser ilegal. Saat ini komunitas-komunitas underground lebih memilih tempat yang jauh dari pusat kota, seperti halnya Lembang atau Rancaekek. Apalagi belum adanya tempat representatif di kota Bandung dan berbelitnya proses birokrasi membuat komunitas underground menggeser ruang ekspresinya di pinggiran Kota Bandung.

Namun, tak lantas konser ilegal jadi semacam jalan keluar yang pasti. Rasa takut yang muncul akibat adanya pembubaran paksa atau protes warga setempat bisa jadi masalah bagi semangat militansi yang terus meluap. “Rasa takut atau perasaan khawatir selalu ada. Takut lagi enak-enaknya menikmati konser tiba-tiba dibubarin kan jadi hal yang tidak kita inginkan,” ujar Yongky yang pernah membuat konser musik hardcore/punk secara ilegal di basement Student’s CafĂ© Taman Sari. Yongky menambahkan, sempat ada protes warga perihal konser tersebut akibat adanya salah komunikasi. Apalagi konsernya itu dibikin di daerah pemukiman padat.

“Sebenarnya birokrasi masih agak ribet kalau mau bikin acara secara legal. Tapi asal sesuai prosedur yang disepakati oleh pihak berwajib, sebenarnya izin pasti turun dan gratis pula,” tutur Reza Ferdian, Ketua Panitia event organizer Sodom Movement yang mendatangkan band punk rock asal Inggris, Extreme Noise Terror beberapa waktu lalu.

Menurut Addy Gembel, jika saja tidak adanya kemacetan di level birokrasi dan pihak-pihak tertentu yang bisa mengakomodir komunitas underground sebagai potensi berkreativitas yang layak, bukan lantas memusuhi segala bentuk ekspresi komunitas underground. Apalagi konser ilegal di Studio Gramma pernah dibubarkan oleh pihak berwajib. Addy menambahkan bahwa dengan pembubaran konser ilegal menjadi sesuatu yang kontra-produktif. Justru seharusnya potensi kreativitas ini yang semestinya diakomodir. Jika semakin dikekang, komunitas ini bisa semakin militan.

Sayangnya, semangat militansi komunitas underground saat ini tidak merambah pada infrastruktur komunitas underground macam zines, indie label, event organizer (EO), dll. Padahal infrastruktur seperti itu bisa menjadi indikasi positif mengenai perkembangan komunitas underground. Minimnya zines bisa jadi salah satu indikasi betapa ada satu sistem yang salah dalam komunitas underground saat ini.

Kimung, editor zines Minorbacaankecil berpendapat, “Perkembangan zines di Bandung saat ini kurang banget. Sangat sedikit zines yang eksis. Padahal zines bagus untuk membangun sense of belonging dalam sebuah komunitas”. Kimung menambahkan ada semacam sistem dalam komunitas underground yang hilang saat ini. “Kalo melihat dari sejarahnya kan pengembangan komunitas itu ada langkah-langkahnya kayak ngumpul, ngobrol, diskusi, bikin zines, rekaman, bikin indie label, bikin konser, dsb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar